Abstrak
Pendidikan karakter menjadi sangat penting untuk diwujudkan. Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia dan pendidikan di Indonesia. Dengan banyaknya fenomena karut marutnya sistem manajemen diri dan perilaku anak-anak bangsa di Indonesia akhirnya upaya pembentukan karakter menjadi bahan diskusi yang luar biasa. Upaya pembentukan karakter ini sudah dilalkukan sejak zaman dahulu tetapi belum kelihatan hasilnya secara signifikan. Dengan dasar tersebut, perlu dilakukan revitalisasi pada paradigma mendidik yang berkarakter bagi generasi penerus bangsa, khusunya bagi guru . Dengan terbentuknya karakter yang kuat bagi guru diyakini akan mampu menjadi insipartor bagi peserta didiknya di sekolah dan kampus untuk mewujudkan pendidikkan karakter di Indonesia.
Kata kunci: karakter, guru, pendidikan, Indonesia
A. Wacana Pembuka
Setiap orang selalu mengaku yang paling baik, benar, dan tidak mau menerima masukan orang lain. Hal ini fenomena yang wajar karena sifat yang dimiliki manusia. Setiap manusia memiliki kebisaan yang berbeda-beda tetapi berdampak besar terhadap kehidupannya. Oleh karena itu, perlu dipikirkan mindset pemikiran seseorang berkorelasi dengan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian bagaimana agar kebisaan dan perilaku hidup sehari-hari tersebut tidak mempengaruhi psikis seseorang.
Kondisi karut marut bangsa Indonesia menjadi bahan renungan bagi semua elemen bangsa. Hal ini seperti dikatakan Arifin (2010) bahwa saat ini banyak orang yang sudah tidak menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diembananya secara amanah. Anggota DPR yang tidur saat sidang atau bahkan tidak pernah menghadiri sidang, sipir penjara yang berkolusi membebaskan narapidana, polisi yang tidak menjaga letusan senjatanya, jaksa yang menjual tuntutan demi meraih ratusan juta bahkan miliaran rupiah, hakim yang tidak menjalankan tugas undang-undang untuk menghadirkan saksi penting, dan banyak lagi contoh drama pengingkaran tanggung jawab yang dimainkan oleh pejabat publik di negeri ini.
Merujuk pemikiran di atas, siapa yang salah? Guru, pemerintah atau semua salah. Selama rentang tahun 2010 ini alhamdulillah banyak orang membicarakan masalah karakter. Hal ini menunjukkan kesadaran akan karut marutnya kondisi karakter bangsa Indonesia. Ini menjadi sangat ironis. Dengan kondisi bangsa saat ini, pendidikan karakter bukan hanya sekadar fenomena yang didiskusikan dan dikaji tetapi harus diimplementasikan dalam kehidupan. Pertanyaanya harus dimulai dari manakah pendidikan karakter?
Pendidikan karakter harus ditanamkan dan dimiliki oleh setiap manusia yang ingin berubah sikap dan perilakunya dalam kehidupan sejak dini. Baik elemen masyarakat pendidikan, guru, pemerintah, mahasiswa, dan pelajar. Semua elemen tersebut harus memiliki sifat dasar dan karakter yang kuat sebagai generasi penerus bangsa. Banyak upaya telah dilakukan orang tua, guru, lembaga pemerintah dan swasta untuk mewujudkan generasi unggul dan mandiri yang cerdas dan berkarakter kuat. Namun demikian, semua usaha tersebut masih belum menunjukkan titik terang dan hasil yang nyata.
Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini akan memberikan sumbangan pemikiran mengenai pembentukan karakter melalui pembentukan karakter guru. Semoga pemikiran ini dapat menjadi pelengkap bagi aneka pemikiran para pemikir bangsa tercinta.
B. Hakikat Pendidikan Karakter
Semua orang membicarakan pendidikan karakter. Bahkan tema utama yang diangkat dalam rangka memperingati Hardiknas tahun 2010 adalah “Pendidikan karakter dalam rangka membangun peradaban bangsa” dan Hari Sumpah Pemuda “Membangun Karakter Pemuda Demi Bangsa”. Selain itu, di berbagai tempat dan papan poster terpampang pendidikan karakter. Apa sebenarnya pendidikan karakter?
Perlu dilihat terlebih dahulu hakikat pendidikan. Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat menjadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturasi dan sosialisasi) (Adnan, 2010). Lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh 3 dimensi dasar kemanusiaan: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia, (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas piker dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan , dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Masih ingat tokoh pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa Yogyakarta yang memberikan teladan dengan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani (didepan memberi contoh, di tengah ikut berkarya, dan di belakang turut mendukung). Selain itu tokoh pendidikan tersebut pernah mengatakan pesan bahwa, “Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya, dan persatuan.” Pesan tersebut disampaikan di Taman Siswa Yogyakarta.
Dukungan pendapat tersebut disampaikan oleh Prof. Wuryadi (Adnan, 2010) bahwa manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. DASAR, dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan AJAR adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.
Pemikiran-pemikiran mengenai pendidikan karakter tersebut diperkuat dengan dasar hukum yang jelas pada UU Sisdiknas pasal 3, bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan pendidikan karakter pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengimplementasikan di sekolah dan kampus. Namun demikian, kita harus menrujuk pendapat Stiles (1998) bahwa “Pembangunan karakter tidak dapat dilakukan dengan serta merta tanpa upaya sistematis dan terprogram sejak dini” (Furqon, 2010).
C. Eksistensi Guru Kreatif dalam Pendidikan Karakter
“Guru yang baik terwujud dari hati.” (Barbara Dorff, guru sekolah lanjutan teladan dari texas) dan “Hal yang paling indah tentang mengajar adalah bahwa semakin banyak kita memberi, maka semakin banyak pula yang akan kita peroleh kembali.” (Richard Sprecher, guru teladan dari Montgomery Country, Maryland) (Fakhrudin, 2009:98). Bagimana dengan kita?
Guru menjadi kata kunci untuk mewujudkan pendidikan karakter. Guru sebagai orang yang dipercaya dan diteladani oleh murid harus memberikan contoh karakter yang kuat. Hal ini akan menjadi dasar yang kuat bagai seorang guru untuk membentuk karakter siswanya. Dengan demikaan, akan terwujud filosofi guru digugu (dipercaya) dan ditiru(diteladani). Akan tetapi apabila perilaku guru tidak dapat menjadi teladan bagi siswanya tetapi justru menjadi “tontonan” salah siapa?
Seorang guru harus mendidik. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan yang disamapaikan Santoso (1981:33, Hidayatullah, 2010:18) bahwa tujuan setiap pendidikan yang murni adalah menyusun harga diri yang kukuh-kuat dalam jiwa pelajar, supaya mereka kelak dapat bertahan dalam masyarakat. Selanjutnya dijelaskna pula bahwa pendidikan bertugas mengembangkan potensi individu semaksimal mungkin dalam batas-batas kemampuannya, sehingga terbentuk manusia yang pandai, terampil, jujur, tahu kemmapuan, dan batas kemampuannya. Merujuk pemikiran di atas, berarti pembentukan karakter dan watak menjadi salah satu tanggung jawab dan tugas seorang guru dalam mendidik peserta didiknya.
Mendukung pendapat di atas, Hidayatullah (2010:18) berpendapat bahwa guru yang memiliki makna “digugu dan ditiru” (dipercaya dan dicontoh) secara tidak langsung juga memberikan pendidikan karakter kepada peserta didiknya. Oleh karena itu, profil dan penampilan guru seharusnya memiliki sifat-sifat yang dapat membawa peserta didiknya ke arah pembentukan karakter yang kuat. Oleh karena itu, seorang guru harus menjadi teladan bukan sekadar memberi teladan dan menjadi contoh bukan sekadar memberi contoh.
Kesadaran menjadi guru kreatif dan berkarakter yang menjadi contoh dan teladan harus dimiliki oleh guru TK, SD, SMP/MTs, SMA/MA/K tanpa terkecuali. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut harus dilakukan secara bersama-sama antara dinas pendidikan, pemerintah, stakeholder pendidikan, dan semua elemen bangsa. Dengan duduk bersama para pemangku kepentingan pendidikan memikirkan kepentingan bangsa dan generasi penerus secara komit maka akan terwujud pendidikan karakter bangsa.
Dalam rangka pembentukan karakter guru ini, seorang dekan FKIP UNS, Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. telah menulis buku: (1) Guru Sejati: Membangun Insan Berkarkater Kuat dan Cerdas’ dan (2) Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa yang diterbitkan Penerbit Yuma Pustaka Surakarta. Dengan membaca kedua buku tersebut diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi guru untuk menjadi guru yang berkarakter kuat dan cerdas. Dengan demikian akan lahir guru-guru - kreatif, inovatif, cerdas, dan berkarakter kuat.
D. Peran Inspiratif dalam Pendidikan Karakter
Merujuk pada pemikiran dan kedua buku Prof. Dr. Furqon (2009 dan 2010) guru akan termotivasi untuk selalu menjadi inspirator bagi mahasiswanya. harus menjadi pionir teladan bagi mahasiswa di perguruan tinggi. Seoarang memiliki tugas dan tanggung jawab tidak jauh seperti seorang guru. Akan tetapi, seorang memiliki tanggung jawab untuk menjadi pionir taladan bagi mahasiswaa dan masyarakat dalam melaksanakan tri darma perguruan tinggi. Dengan demikian, peran di perguruan tinggi harus memiliki citra inspiratif dan berkarkater.
Hidayatullah (2010:18) berpendapat bahwa keluaran institusi pendidikan seharusnya dapat menghasilkan orang “pandai” tetapi juga orang “baik” dalam arti luas. Pendidikan tidak hanya menghasilkan orang “pandai” tetapi “tidak baik”, sebaiknya juga pendidikan tidak hanya menghasilkan orang “baik” tetapi “tidak pandai”. Pendidikan tidak cukup hanya untuk membuat anak pandai, tetapi juga harus mampu menciptakan nilai-nilai luhur atau karakter.
Mengacu pada pemikiran di atas, seorang harus refleksi diri akan kinerja selama ini. Seorang harus selalau berkarya dan mengimplementasikannya kepada mahasiswa melalui pembelajaran, kepada masyarakat melalui penelitian dan pengabdian. Hal dapat didasarkan pada prinsip bahwa kuatnya arus pembelajaran berarti kuatnya karakter guru , kuatnya karakter guru berarti kuatnya pendidikan kita, dan kuatnya pendidikan kita berarti kuatnya bangsa Indonesia. Dengan demikian, tidak boleh ada rantai terputus antara guru dalam pembentukan karakter generasi muda di masa yang akan datang.
Pemikiran Hidayatullah (2010:19) bahwa orang yang “pandai” saja tetapi “tidak baik” akan menghasilkan orang yang “berbahaya” karena dengan kepandaiannya bisa menjadikan sesuatu menyebabkan kerusakan dan kehancuran. Setidak-tidaknya pendidikan masih lebih bagus menghasilkan orang-orang “baik” walaupun kurang “pandai.” Tipe ini paling tidak akan memberikan suasana kondusif karena ia memiliki aklhak yang baik.
Upaya untuk mewujudkan pemikiran tersebut terjadi di perguruan tinggi karena para sarjana dipersiapkan sebagai generasi penerus yang berakhlak dan mandiri. Oleh karena itu, pemikiran tersebut didukung oleh Ary Ginanjar (dalm Hidayatullah, 2009:v) bahwa saya semakin merasakan betapa pentingnya pendidikan karakter setelah mempelajari ilmu dan semangat samurai. Para samurai memilki dua hal, yaitu Wasa dan Do. Wasa artinya skill sedangkan Do artinya The way of life (prinsip hidup) yang dikenal Bushido. Pemikiran-pemikiran tersebut dapat direalisasikan apabila membelajarkan mahasiswa dengan kreativitas berimbang antara hardskill dan softskill, dan landasan karakter yang kuat. Dengan demikian, akan dihasilkan para sarjana yang berkarakter kuat dan cerdas sebagai calon generasi bangsa.
E. Guru Harus Refleksi Diri
Sejak diberlakukannya tunjangan profesional bagi guru ternyata muncul banyak masalah di lapangan, baik pembelajaran dan karakter guru . Tidak semua guru yang telah mendapat sertifikat pendidik dijamin memiliki karakter kuat dan cerdas. Selain itu, belum tentu semua profesional dalam menjalankan tugas dan kewajiban. Dengan pernyataan ini bukan berarti penulis merasa sudah profesional. Akan tetapi justru harus dipikirkan secara bersama-sama bagaimana upaya untuk merefleksi dan memperbaikinya.
Pemikiran tersebut selaras dengan pendapat Walantaqi (2010:116) bahwa untuk tercapainya proses pendidikan yang baik diperlukan enam modal dasar, yaitu (1) adanya kecerdasan (dzuka-in), (2) motivasi yang jelas arah dan sasaran yang tepat (birshin), (3) ketekunan dan usaha (isbtibar), (4) partisipasi dan pembiayaan (bulghat), (5) tenaga edukatif yang berkualitas (irsyadi ustadzin), (6) Long life learning (thuliz zamanain). Merujuk pendapat tersebut berarti peran guru memilki andil penting sebagai salah satu modal dasar untuk mewujudkan pendidikan yang berhasil dan berkarakter.
Upaya refleksi peran guru dalam upaya mewujudkan pendidikan karakter ini dapat dilakukan melalui karya pengembangan profesi, baik buku, modul, buku ajar, makalh, jurnal, dll.. Seorang guru diharapkan dapat menumbangkan ide-ide kreatif dalam pengembangan genrasi muda yang berkarakter melalui seminar, workshop, lokakarya, dan diskusi ilmiah, baik tingkat nasional maupun internasional. Bukan hanya sebagai peserta tetapi sebagai pembicara. Dengan demikian, akan tercipta atmosfir akademik yang sinergis dan holistik dalam berbagai ranah kehidupan ilmiah, baik bagi guru di mana pun berada.
Guru diumpamakan tokoh-tokoh yang membentuk karakter pelajar dan mahasiswa. Selain itu, guru juga yang memberikan senjata berupa “ilmu” sebagai “pedang” untuk mengubah dunia. Berbicara senjata untuk mengubah dunia ini harus belajar pada para Samurai. Para Samurai memiliki senjata yang disebut Katana atau Pedang. Pedang yang tajam tentu mengerikan dan berbahaya jika dimiliki oleh orang yang tidak bermoral. Pedang menjadi tidak berbahaya ketika pemegangnya mempunyai sifat yang disebut Bushido, yaitu amanah, pengasih, santun, sopan, mulia, hormat, dan lain-lain. Apabila para pelajar dan sarjana lulusan kita memiliki sikap dan perilaku seperti para Samurai, yakinlah bahwa pendidikan karkater akan dapat segera terwujud.
Dengan demikian, peran guru sangat besar dalam mewujudkan pendidikan karakter, dengan catatan guru harus memiliki karakter kuat dan cerdas terlebih dahulu baru membentuk karakter pelajar dan mahasiswanya. Bagaimana dengan kita sebagai guru ? Marilah kita refleksi bersama-sama, kemudian niatkan dalam hati untuk refleksi dan mengubah diri untuk berpartisipasi dalam mewujudkan pendidikan karakter bangsa Indonesia.
F. Wacana Penutup
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulakan bahwa pendidikan karakter menjadi sangat penting untuk diwujudkan. Hal ini mengingat bagsa Indonesia saat ini telah mengalami keterpurukan dan karut-marut dalam bidang moralitas dan akhlak. Kondisi ini disebakan juga oleh minimnya insan-insan cendekia yang cerdas dan berkarakter kuat.
Kita bangga terhadap institusi pendidikan yang telah menghasilkan insan-insan cendekia yang cerdas dan unggul tidak diragukan lagi akan tetapi kenyataanya implementasinya di lapangan masih jauh dari yang diharapkan. Oleh karena itu, menjadi bahan renungan dan pemikiran bersama upaya pembentukan karakater bangsa harus dimulai dari institusi pendidikan kita, baik pendidikan anak usia dini, SD, SMP/MTs, SMA/MA/K dan perguruan tinggi.
Untuk mewujudkaan pendidikan karakter dalam rangka membangun peradaban bangsa tersebut harus dimulai dari pembentukan karakter guru nya baru diikuti terbentuknya pelajar dan mahasiswa yang cerdas dan berkarakter kuat, kemudian diimplementasikan kepada seluruh masyarakat dan elemen bangsa. Apabila pola tersebut dapat diwujudkan maka tinggal melengkapi dengan perangkat-perangkat yang mendukung terealisasinya pendidikan karakter di Indonesia. Semoga segera terwujud. Sukses dan luar biasa.
G. Daftar Pustaka
Adnan, Zainal Arifin. 2010. “Pembangunan Karakter dalam Perspektif Agama”. Makalah Seminar Internasional, 10 November 2010 di FKIP UNS.
Alantaqi, Wajihudin. 2010. Rahasia Menjadi guru Teladan Penuh Empati. Yogyajakarta: Gara Ilmu.
Agustian, Ary Ginanjar. 2009. Bangkit dengan Tujuh Budi Utama. Jakarta: PT Arga Publishing.
Fakhrudin, Asef Umar. 2009. Menjadi Guru Favorit. Yogyakarta: Diva Press.
Hidayatullah, M. Furqon. 2010. “Revitalisasi Nilai-nilai Kepahlawanan dalam Membentuk Karakter Bangsa”. Makalah Seminar Internasional, 10 November 2010 di FKIP UNS.
Hidayatullah, M. Furqon. 2009. Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas. Surakarta: Yuma Pustaka.
Hidayatullah, M. Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma Pustaka.